Teya Salat

HOME
CYBER LOVE STORY
Teknologi mempengaruhi perilaku manusia tak bisa dibantah. Perkembangan teknologi jaringan yang begitu pesat memungkinkan orang melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya hanya dengan sentuhan ujung jari di kamar masing-masing tanpa terjebak traffic jam. Ngobrol, berbelanja, berkiriman dokumen, cari informasi apapun, semuanya dapat dilakukan tanpa beranjak dari rumah. Bahkan sebentar lagi orang tak memerlukan office space yang mahal itu. Seluruh aktivitas bisnis dapat dilakukan dan dikendalikan dari rumah. Boss tak pernah bertatap muka langsung dengan staff-nya merupakan hal yang biasa. Tak apa-apa, yang penting urusan beres.
Demikian pula untuk satu urusan yang universal dimiliki manusia penghuni planet biru ini, urusan cinta. Orang jatuh cinta tak lagi hanya dari pandangan pertama, tapi bisa dimulai dari sentuhan ujung jari pada keyboard. Cyber love, demikian julukannya. Seperti kisah cinta di dunia nyata, percintaan di alam mayapun tak selalu diakhiri dengan happy ending, malahan lebih bayak unhappynya, paling tidak seperti yang pernah kualami. Dua kali Aku terlibat cinta cyber dan dua-duanya berakhir dengan unhappy. Inilah yang hendak Aku ceritakan kepada Anda sekalian pecinta CCS (Cerita-Cerita Seru) yang budiman!
Anda yang tak tertarik dengan perselingkuhan yang berakhir unhappy bisa langsung delete saja mailku ini. Juga bagi Anda yang tak suka kisah-kisah kegagalan. Aku memang tak secanggih para penggemar CCS lainnya yang begitu mudah mendapatkan cewe idealnya. Begitu mudah menggaet cewe dengan gambaran tubuh yang “wah” dan amat mudah juga mengajaknya ML. Beginilah Anda biasanya menggambarkan fisik yang “wah” itu: Langsing dan tinggi nyaris dua meter, kulit putih mulus licin bak salju sehingga lalatpun gagal hinggap di tubuhnya, terpeleset –walaupun belum tentu pernah melihat salju–, buah dada kenyal bulat sebesar kepala bayi, pinggang ramping kaya bambu, paha bulat mirip batang pohon pinang dengan liang vagina sekecil lidi… pendek kata, seperti Sophia Latjuba atau Tamara Blezinsky-lah(gimanapun ejaannya).
Aku tak secanggih itu, pembaca. Cewe teman selingkuhku tak secantik kedua selebritis itu. Tinggi “cuman” 163 (tidak 2 meter), kulit kuning langsat (bukan putih), bra ukuran 34 (bukan bukan dibalik jadi 43), pinggang cukup membentuk gitar (engga sekecil bambu) dan “kewanitaan” yang sedikit sesak untuk ukuran penisku yang rata-rata orang melayu. Dan untuk berlanjut sampai ke ranjangpun tak semudah seperti yang biasa Anda lakukan: begitu ketemu, kenalan terus langsung jilat-jilat vagina dan tancepan. Prosesku lumayan panjang dan dengan intensitas hubungan yang naik-turun, tak selalu lancar.
Aku, pria 28 tahun, sudah berkeluarga, anak satu, kerja di perusahaan swasta di Jakarta. “Ketemu” pertama kali dengan Alia (begitu saja kusebut namanya) di mailing list group yang mengkhususkan diskusi tentang politik Indonesia. Di antara belantara lalu-lintas diskusi itu suatu saat pada topik tertentu Aku dan Alia saling dukung pendapat (topik apa dan gimana saling dukungnya tak relevan bila kutulis di sini). Maka kulayangkan sebuah mail lewat japri-nya. Isi mail masih lanjutan topik tadi dan kuakhiri dengan keinginan untuk kenal lebih dekat.
Perkenalanku mendapat respons positif dan mulailah kami saling berkirim mail sampai “melupakan” forum mailing-list dan jadi jarang posting. Pada tahap saling membuka identitas masing-masing kusebutkan statusku dengan sebenarnya. Alia sedang kuliah di jurusan Sospol Universitas di kotanya Makassar semester VI. Asli dari Manado tapi kelahiran Makassar. Statusnya sedang berpacaran dengan mahasiswa dari jurusan lain yang berasal dari daerah yang sama, sejak tahun pertama kuliah.
Perbincangan lewat mail tak lagi tentang politik, tapi lebih soal-soal pribadi. Misalnya dia dengan terbuka menceritakan telah menyerahkan segalanya kepada pacarnya itu. Dia sudah tak gadis lagi sejak setengah tahun sebelum bertemu Aku lewat dunia maya. Dia juga bercerita tentang aktivitas seks-nya dengan pacarnya serta perasaan-perasaannya. Termasuk pengakuannya bahwa dia hanya berhubungan seks dengan satu pria saja, yaitu pacarnya itu. Juga dia selalu menceritakan masalah yang dia alami dalam berpacaran. Semacam curhat. Komunikasi diantara kami tak hanya lewat mail saja, tapi juga chatting.
“Witing tresno jalaran soko kulino” begitu pepatah Jawa yang artinya kurang lebih awal cinta datang karena dekatnya bergaul. Itulah yang sedang Aku alami. Hubungan kami begitu dekatnya sehingga diam-diam timbul sesuatu di dalam hati yang tak kami perkirakan sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang rasanya bila sehari saja tak membaca mailnya. Ketika Aku bilang ke Alia tentang perasaan ini, ternyata dia mengalami hal yang sama. Singkatnya, kami saling jatuh cinta walaupun masing-masing telah punya pasangan tetap. Kami juga berjanji, saling berusaha mencari peluang untuk bertemu secara fisik.
“Elo tahu engga kantor Departemen Anu,” tulisnya pada suatu siang kami chatting.
“Tahu. Kenapa?” jawabku.
“Gue ada rencana kuliah lapangan ke situ.”
Nah! akhirnya peluang buat ketemu Alia datang juga. Jangan gembira dulu, kataku dalam hati.
“Oh ya? Kapan? Sama siapa?” tulisku memberondong.
“He he.. satu-satu dong, semangat banget.”
“Semangat dong, kan kita bisa ketemu.”
“Pengin ketemu, gitu?”
“Ah elo, kaya engga tahu aja. Pengin banget, tahu. Kapan nih?”
Alia sebutkan tanggal yang artinya 2 minggu lagi. “Sama temen-temen 10 orang, plus 2 orang dosen,” katanya lagi.
Saat ketemu inilah yang Aku tunggu-tunggu. Oh, aku mencintainya.
“Nginap di mana?”
“Di Mess Yayasan Anu.”
“Engga nginap ama gue aja?”
“Enak aja, engga boleh dong, musti ngumpul”.
Bagus, engga boleh bukan berarti tak mau. Saat bermalam bersama ini pula yang Aku dambakan. Tak sekedar melepas rindu memuaskan hasrat cinta, tapi juga hasrat yang lain.
“Iya ngerti musti ngumpul, tapi sesekali boleh dong minta izin nginap di rumah famili, gitu.”
Alia diam.
“Emang bisa nginap di rumah elo?” katanya setelah beberapa saat hening. Betapa polosnya dia. Tak mungkin Aku masukin cewe ke rumah, bisa-bisa terjadi perang rumah tangga.
“Entar gue booking kamar.” Langsung, boo…
“Ih, elo. Udah biasa gitu ya?”
“Bukan begitu,” sahutku cepat-cepat.
“Alia, elo tahu kan, gue pengin banget ketemu. Kesempatan ketemu yang amat langka ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya….”
“Kenapa musti di hotel?”
Iya, kenapa ya? Bingung jawabnya.
“Yah, supaya kita bisa kangen-kangenan, ngobrol, bebas dari gangguan.”
Diam. Sejurus kemudian.
“Entarlah. Gimana nanti aja.”
Bukankah ini semacam sinyal setuju?
Tibalah saat yang amat kunantikan. Alia dan rombongan akan tiba Minggu sore di Jakarta. Dia berjanji akan meneleponku ke kantor begitu dia punya peluang yang aman. Akupun mulai melakukan persiapan untuk menyambut kedatangannya.
Pertama, persiapan waktu. Aku harus cari akal supaya bisa kabur dari rumah sekitar seminggu. Dari beberapa alternatif alasan dan memperhitungkan resikonya, Aku memilih alasan “dinas luar ke Semarang”.
Kedua, persiapan tempat. Aku memilih Hotel “AM” di Kebayoran Baru walaupun room ratenya lumayan mahal, tapi dekat dengan tempat Alia kerja dan juga Messnya. Dan jauh dari rumah, supaya lebih aman.
Obrolan kami makin seru setelah masa “ice-breaking” tak lama dilalui. Kami sempat saling salah tingkah pada menit-menit pertama Alia masuk ke kamar hotel. Alia begitu bersemangat cerita tentang kegiatannya selama praktek kerja lapangan di instansi pemerintah itu. Aku tak begitu memperhatikan ceritanya. Perhatianku terpusat pada gerak gesture dia bercerita dan sesekali melempar pandangan ke bawah, ke sepasang kaki mulusnya dan sedikit paha yang tak tertutup oleh rok span-nya. Tapi konsentrasi pikiranku sebenarnya adalah, bagaimana “strategi” untuk memindahkan Alia dari tempat duduknya sekarang ke kasur yang kududuki, bagaimana cara memulainya. Memang, memulai adalah hal yang paling sulit.
“Aneh ya gue…” katanya tiba-tiba. Dia baru menyadari mataku sering mampir ke kakinya. Aku sedikit gugup.
“Emang kalo ke kantor gue mesti pakaian begini?” sambungnya.
“Engga ah, justru gue seneng loe pakai seragam.”
“Oh iya? Kenapa?”
“Lebih feminim.”
“Emang gue maskulin ya?”
“Bukan begitu. Gue emang lebih suka ngeliat cewe pakai rok dibanding pake celana panjang, apalagi…”
“Apalagi apa?”
“Kalo engga pakai apa-apa.”
“Huh, dasar.”
“Sorry.”
Aku khawatir kalau dia tak suka gurauanku yang menjurus ini. Mukanya bersemu merah. Apakah ini saat memulai? Ayo Sam, bangkit dan dekati dia. ‘Bangkit’ sih sudah, yang di dalam celanaku, dekatinya ragu-ragu. Kenapa ragu? Dia sudah mau masuk kamar dengan pintu tertutup, apakah ini bukan suatu tanda? Iya, tapi kan duduk di kursi dan dia asyik cerita pengalamannya. Siapa tahu dia menunggu action kamu? Umm… tapi masa tiba-tiba “nyerang”, begitu. Engga dong, gunakan cara seperti pengalaman kamu sebelumnya! Dia duduknya “jauh” sih.
Okay, Aku ke kamar mandi pura-pura mau pipis supaya bisa pindah duduk. Nah, sudah duduk di kursi, tapi masih ada penghalangnya, ada meja bundar di antara kami.
“Terus nanti selesai job training di situ, ngapain?” pancingku memulai obrolan.
“Tulis laporan. Kan kerja sambil kumpulin data.”
Nah, mulailah dia bercerita lagi tentang job trainingnya, penuh semangat. Aku terus menatapi gerak bibirnya yang menggemaskan itu.
“Eh, ngapain sih, ngeliatinnya gitu?”
“Gitu kenapa?”
“Tajem.”
“Seneng aja ngliatinnya.”
“Ngliatin apaan?”
“Bibir kamu.”
“Kenapa, dower?”
“Eh, engga. Bibir kamu seksi.” Telapak tanganku mampir di bahunya. Alia menunduk tapi tak menepis tanganku. Kuremas bahunya pelan. Masih menunduk. Dengan tangan masih di bahunya Aku bangkit mendekat, kedua tanganku di bahu kanan-kirinya.
“Alia…”
Dia masih menunduk. Wajahnya bersemu merah lagi. Kusentuhkan jariku di dagunya, mengangkat. Barulah matanya menatapku. Kepalaku bergerak pelan mendekati wajahnya, bibirnya kukecup. Sekali kecupan lalu kulepas lagi. Tak ada tanda-tanda penolakan.
Serangan kedua pada bibirnya tak sekedar kecupan lagi tapi diikuti dengan lumatan. Pada detik kedua bibir Alia memberikan reaksi, lumatanku disambutnya. Nafasnya mulai memburu. Tangan kananku yang ada di bahunya perlahan bergeser turun. Telapak tanganku memberi sinyal bahwa buah yang tak begitu besar itu keras dan membulat, ternyata.
Tentu saja tanganku tak puas hanya merasakan kekenyalan dadanya dari luar, ingin menyentuh kulitnya langsung. Dua kancing bajunya yang teratas telah kulepas dan detik berikutnya keempat jariku mulai menyusup ke balik bra Alia. Detik-detik berikutnya akan lancar saja, pikirku.
Tapi ternyata tidak. Tangan Alia menarik tanganku yang baru saja merasakan halusnya kulit buah kenyal itu dan lumatanku pun dilepas. Alia menggeleng lembut sambil menyodorkan mulutnya lagi. Kulumat lagi. Dadanya tak boleh disentuh. Mungkin belum saatnya, aku harus bersabar.
Ciuman dengan posisi begini tak nyaman juga. Kutarik tubuhnya, kubimbing ke kasur dan kurebahkan. Tak ada penolakan, aman. Bahkan Alia membentangkan kakinya. Dengan sendirinya kedua belah telapak tanganku segera menelusuri kedua pahanya, menyusup di balik roknya.
Oops, lagi-lagi Alia menepis tanganku. Kenapa sih dia? Main tarik-ulur? Tanganku ditariknya sehingga tubuhku rebah menindihnya. Kami berciuman lagi. Bukan Sammy kalau tak mencoba dan mencoba lagi. Sambil terus melumat bibir tangan kananku menyusup lagi ke bawah menelusuri lengkungan pinggir pinggulnya. Tak ada gerakan perlawanan. Bahkan ketika tanganku berhasil mencapai kain celdam di pinggir pinggulnya. Bahkan ketika menarik karet celdamnya ke bawah tak ada juga perlawanan. Lebih jauh lagi, ketika telapak tanganku merasakan lebatnya bulu-bulu kewanitaannya. Bulu lebat itu tak mengagetkanku, lengannya memang ditumbuhi bulu lumayan lebat, apalagi “pusat”nya.
Aku kaget karena Alia tak menolakku merabai kewanitaannya. Basah berlendir. Aku jadi penasaran ingin menikmati “pemandangan” di bawah sana. Aku bangkit dan menyingkap roknya. Alia memang unpredictable, tiba-tiba dia mencegah tanganku yang membuka roknya. Bingung gue. Yang membuatku makin bingung, Alia melepas kaitan ikat pinggangku, melepas kancing jeansku, menarik ritsnya dan karet celdamku dan merabai Juniorku sudah tak betah terkurung tegang.
Aku seperti orang tolol yang hanya diam saja menyaksikan Alia mengelusi batang penisku. Bingung. Waktu kedua tanganku menyusupi pahanya, dia menolak. Tapi tak bereaksi sewaktu aku menarik celdamnya dan merabai kelaminnya. Aku yakin, dia bukannya tak tahu apa keinginanku saat ini, ingin menyetubuhinya. Tersirat dalam mail-mailnya dia tak menolak ketika aku “minta” kelak kalau ada kesempatan bertemu.
Tubuh bawahku sudah telanjang, penisku sudah tegang mengacung. Tentunya dia makfum akan “langkah selanjutnya”. Alia masih berpakaian lengkap, kecuali celdamnya yang sedikit bergeser ke bawah tapi masih nempel di pahanya.
Gerakan Alia berikutnya lagi-lagi membuatku bingung. Tangannya berhenti mengelusi kelaminku lalu Alia bangkit berdiri. Selagi aku bengong mencoba mengerti tingkahnya ini, tiba-tiba kedua tangan Alia membuat gerakan cepat melepas celdamnya! Lalu, lagi-lagi dia menarik tubuhku hingga rebah menindih tubuhnya.
Dengan gemas aku gigiti kedua buah dadanya berganti-ganti kanan dan kiri. Tak langsung ke kulitnya sih, masih ada penghalang baju dan bra-nya. Apa boleh buat, memang hanya itu yang diizinkan. Beberapa kali aku berusaha membuka pakaian atasnya dia selalu menolak. Aku tak tahan lagi, ingin segera memasuki tubuhnya. Dengkulku membuka pahanya dan penisku merengsek masuk mencapai selangkangannya. Kugeser-geser, kugosok-gosok, dan… perlahan namun pasti, aku mulai masuk. Tak mudah memang, tapi tak susah benar. Aku tak kaget kalau dia sudah tak perawan lagi. Alia pernah cerita miliknya yang paling berharga telah diserahkan kepada pacarnya yang sekarang.
“Itulah satu-satunya penis yang pernah kulihat dan memasuki tubuhku,” tulisnya ketika itu.
“Jadi nanti, punyaku yang kedua,” balasku.
“Iya, kalau jadi.”
Ketika pompaanku makin cepat, ketika aku telah tiba saatnya untuk mencabut, Alia justru mengunci tubuhku dengan kakinya. Dibiarkannya aku ejakulasi di dalam tubuhnya. Padahal dia tahu, kami berdua sama-sama tak menggunakan proteksi. Akupun dengan tenangnya menikmati orgasme di dalam tubuhnya. Seluruh maniku telah tertampung di tubuhnya. Menit-menit berikutnya aku masih di dalam. Kebiasaanku kalau berhubungan seks memang begitu, sampai penisku lepas dengan sendirinya ketika mengecil kembali.
Lucunya, ketika aku lepas dan rebah ke sampingnya, Alia cepat-cepat menutup roknya kembali. Dia sama sekali tak mengizinkan mataku menikmati kewanitaannya.
Apa sebenarnya yang dia sembunyikan? Kurasakan kewanitaannya tak ada masalah, masih cukup erat menjepiti penisku. Masih ada “rem”nya. Pahanyapun oke saja, tadi tanganku merasakaannya, halus berbulu lembut.
“Kenapa sih Yang?” reaksiku ketika dia menutup roknya kembali.
“Engga apa-apa.”
“Pakaianmu masih lengkap.”
“Sama aja kan, Mas puas juga kan?”
“Benar, barusan Mas puas sekali, tapi…”
“Engga pakai tapi,” potongnya.
“Bagusnya kan kita berdua telanjang bulat.”
Diam saja, tak ada komentar.
“Jadi foreplay kita bisa lebih panjang, gue paling suka foreplay dengan nyiumin tubuh loe,” lanjutku. “Loe juga bisa ‘tinggi’ dan mencapai puncak, engga kaya tadi,” lanjutku lagi. Aku yakin tadi dia belum sampai orgasme.
“Tadi aku puas juga kok Mas,” katanya sambil mencium pipiku.
“Tapi belum orgasme, kan?” lenganku merangkul memeluk bahunya.
“Tak masalah, yang penting Mas bisa puas.”
Dia pernah cerita, dengan pacarnya jarang mendapatkan orgasme tapi pacarnya selalu sampai puncak setiap berhubungan seks. Baginya tak problem asalkan bisa memuaskan pacarnya.
“Lebih indah kalau kita berdua bisa ke puncak.”
“Mas, kita engga usah bahas ini lagi, OK?”
“Okay, okay.” Kupeluk tubuhnya. Aku benar-benar jatuh cinta.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang mencemaskan. Kupegang kedua belah bahunya.
“Yang, tadi gue keluar di dalam, gue…”
“Engga usah khawatir Mas,” potongnya.
“Loe pakai spiral?”
“Engga ih, kaya ibu-ibu aja.”
“Lalu?”
“Sejak pertama gue ama pacar selalu keluar di dalam, engga ada efek.”
“Pacar loe mandul, kali?” Kalau benar, wah, dia bisa hamil nih.
“Engga juga, dia pernah hamilin anak SMU.”
“Oh…” Aku lega, tapi belum 100 persen yakin.
“Kayanya dari gue Mas.”
Aku diam saja, mau komentar apa? Rangkulan di bahunya kupererat lalu kuciumi wajahnya. Menenangkan maksudku.
“Entar Mas, mau ke kamar mandi.” Dia bangkit, masuk kamar mandi dan pintunya dikunci. Di luar kebiasaan memang. Dengan pasangan-seks yang lain umumnya aku sama-sama ke kamar mandi, saling membersihkan, atau langsung mandi bersama, atau kalau sama-sama terangsang bisa dilanjutkan main di kamar mandi.
Alia memang berbeda.
Aku ingin segera mandi tapi mesti nunggu Alia selesai. Gemericik suara douce menandakan Alia sedang mandi. Membayangkan tubuh putihnya yang telanjang bulat di kamar mandi penisku mulai bergerak bangkit lagi. Oh, aku kepingin lagi.
Oho… Alia lupa celdamnya. Kupungut CDnya yang masih tergeletak di lantai, kusimpan. Alia keluar kamar mandi sudah berpakaian lengkap, wajahnya segar, pipinya masih memerah. Aku cepat-cepat masuk kamar mandi sebelum dia mencari celdamnya. Selesai mandi dengan hanya berbalut handuk aku keluar.
“Mana celana gue,” tagihnya.
“Gue simpen, buat kenang-kenangan.”
“Ngaco, masa gue balik engga pakai celdam.”
“Loe bener engga mau nginep sini?”
“Mas Ajie, tadi kan gue udah bilang, gue izinnya cuman mengunjungi famili, engga nginap.”
“Jadi kapan dong boleh izin nginap?” Celdamnya Aku berikan.
“Ini kan baru pertama gue izin keluar. Entar deh, lihat-lihat situasi.” Alia duduk di ranjang dan mengangkat sebelah kakinya mulai mengenakan celdam. Sekilas aku nampak pahanya yang putih. Kubuang handuk yang menutupi tubuhku dan aku mendekat. Sebelum Alia sempat bangkit untuk menarik ke atas celananya, Aku menubruknya dan merebahkan punggungnya ke kasur.
“Mas ….!”
Bibirnya kulumat.
Payudaranya kuremas.
Tubuhku yang telanjang telah menindih selangkangannya.
“Maass, gue kan musti balik,” katanya ketika Aku melepas bibirnya untuk menelusuri lehernya. Aku terus menciumi leher dan meremasi dadanya. Mulutnya mengatakan menolak, tapi nafasnya yang mulai memburu menandakan lain.
“Kan baru sekali, Yang, sekali lagi ya?”
“Kita masih banyak waktu.”
Ya, masih banyak, tapi suaramu serak dan nafasmu memburu. Diapun tak berusaha mencegah ketika celdam yang masih di pahanya itu kutarik lepas kembali. Juga tak menampik jariku yang merabai pintu vaginanya. Basah. Alia malah membuka pahanya lebar-lebar, membantu penisku memasuki tubuhnya. Kembali kami menyatukan tubuhku yang bugil dengan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap.
Ronde kedua ini aku lebih “ganas”. Kadang tusukan kubarengi dengan hentakan kuat. Alia mengerang. Mulutnya lebih ribut dibandingkan ronde pertama tadi. Tubuhnya mengejang. Hah, apa ini? Denyutan-denyutan kuat teratur kurasakan pada batang kelaminku di dalam sana. Oh nikmatnya. Tubuhnya masih bergetar mengejang keika aku ejakulasi. Pun masih kurasakan getaran itu walau aku sudah rebah lemas di atas tubuhnya.
“Oh, udah gelap,” katanya mengejutkanku. Alia menolak tubuhku ke samping dan bangkit. Dengan panik dia mencari-cari celdamnya dan mengenakannya. Cara memakai celdamnya yang buru-buru menyebabkan mataku sempat menikmati bulu lebat kelaminnya. Kulihat arlojiku. Rupanya kami sempat tertidur setengah jam setelah orgasme yang nikmat tadi.
“Tenang Yang, nanti gue anter.”
Sesuai permintaannya, Alia Aku turunkan di dekat Mess penginapannya. Aku tak boleh mengantarnya sampai Mess, untuk menghindari kecurigaan teman-temannya. Aku kembali ke hotel meneruskan tidur.
Begitulah. Aku dan Alia menikmati seks dengan cara ini. Alia tak bisa setiap hari “mengunjungi famili”. Selang sehari kami bertemu bisa bertemu lagi. Alia menelepon memintaku menunggu di dekat Mess lalu berdua kami ke hotel. Gaya berhubungan seks-nyapun masih sama seperti yang pertama. Gaya missionarist, Alia berpakaian lengkap (kecuali celdam tentunya) meskipun Aku selalu telanjang bulat. Tanganku belum pernah menyentuh langsung buah dadanya, apalagi menghisap putingnya. Remasan dada kulakukan dari luar. Mataku belum pernah menikmati clit dan liang senggamanya. Penis dan jariku yang sudah menikmatinya. Aku belum pernah menikmati tubuh telanjangnya secara utuh walaupun sudah menyetubuhinya belasan kali.
Kalaupun ada yang berbeda, terjadi pada pertemuan ketiga (hari ketujuh Alia di Jakarta). Dalam foreplay Alia bersedia meng-oralku. Tadinya Aku berencana untuk “keluar” di mulutnya. Sekaligus semacam “test” apakah dia mau menelannya. Tapi Alia keburu minta dimasuki. Ketika pada ronde berikutnya Aku gantian minta meng-oral dia, sudah kuduga Alia menolak. Tapi bagiku tak menjadi soal benar. Yang penting kami berdua puas. Beberapa kali aku mampu membuatnya orgasme. Bahkan dua kali Alia mengalami multiple orgasme.
Satu hal lagi yang kudambakan, ketika bangun pagi Alia ada di sampingku sehingga kami bisa menikmati seks pagi hari yang menyegarkan. Ketika hal ini kuutarakan, Alia berjanji nanti pada malam terakhir dia di Jakarta akan minta izin menginap.
Tibalah saat yang kunantikan. Jam 3 sore Alia meneleponku. Biasanya dia menelepon sekitar jam 5.
“Udah selesai, besok siang tinggal pulang,” katanya.
“Bisa nginap dong.”
“Beres,” sahutnya. Hatiku bersorak. Sebentar lagi sampai besok pagi Aku bisa bersamanya.
“Gue jemput sekarang,” Penisku berdenyut. Engga sabaran “dia”, sejak dua hari lalu “nganggur” saja.
Begitu masuk kamar, Aku langsung bertelanjang dan memelorotkan celdam Alia, mendorongnya ke ranjang. Untuk kesekian kalinya kami bersetubuh dengan cara yang sama, cuma kewanitaannya yang terbuka. Keringat kami lebih banyak keluar, mungkin karena main di siang hari walaupun AC kamar cukup dingin. Alia benar-benar teriak! Sampai aku harus menutup mulutnya agar suaranya tak sampai kedengaran dari luar kamar.
Kami berdua masih tergeletak lemas, tak berbicara, asyik dengan pikiran masing-masing. Penisku baru saja lepas dari vaginannya setelah orgasme yang amat nikmat tadi. Kurasakan, inilah orgasme yang paling nikmat setelah belasan kali kami bersetubuh. Alia memang agak aneh, tak sekalipun aku diizinkan untuk menciumi bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian walaupun telah menghantarnya ke puncak kenikmatan hubungan seksual. Tak apalah, Aku punya banyak waktu untuk mencoba dan mencoba lagi. Malam ini Alia sepenuhnya menjadi milikku. Kalau perlu aku akan begadang malam ini. Bertelanjang terus dan setiap saat bila siap akan menyetubuhinya. Kalaupun perlu tidur akan aku lakukan lewat tengah malam. Itupun hanya supaya besok bangun pagi Aku siap menyetubuhinya lagi, suatu hal yang aku idam-idamkan: bangun pagi dengan wanita selain isteri ada di sampingku. Membayangkan itu semua Aku jadi horny lagi.
“Yang…” sapaku sambil mencium pipinya.
“Hmm…?”
Aku terus menciumi wajahnya, tanganku ke dadanya. Meremasi.
“Eemmm. Apa sih?”
Kutempelkan penisku yang setengah tegang ke pahanya.
“Mau lagi.”
“Kok terus-terusan.”
“Iya dong, kan malam terakhir.”
“Tenang dong. Kita banyak waktu. Kita mandi dulu aja ya.”
Wow, kalau engga salah dengar, mandi bersama adalah ajakan baru.
“Ayo!” sahutku semangat. Aku bangkit lalu menariknya ke kamar mandi.
“Yee… siapa yang ngajak mandi bareng?”
“Lho, tadi katanya kita mandi dulu.”
“Iya. Kita berdua mandi tapi gantian. Gue dulu,” sahutnya.
Seperti biasa, selesai mandi Alia tampil dengan pakaian lengkapnya. Walaupun begitu, tampilan segar dan wangi tubuhnya membuatku tak sabaran untuk cepat-cepat mandi kilat. Keluar dari kamar mandi itulah aku mendapatkan kejutan luar biasa dari Alia.
…Di kasur, Alia rebah terlentang dengan kaki membuka dan telanjang bulat! Tubuh langsat itu mengkilat tertimpa bias sinar matahari dari jendela kaca. Matanya tajam menatapku, sepasang buah dadanya membulat dengan puting menjulang seolah menantang, bulu-bulu lebat di permukaan kewanitaannya menjadi kontras “dikawal” sepasang paha saljunya. Aku sempat terpaku beberapa saat di depan pintu kamar mandi karena pemandangan yang tak biasa ini. Perilaku Alia ini lagi-lagi kurasakan aneh. Selama sepuluh hari ini dia sama sekali tak mengizinkan aku melihat tubuhnya yang tertutup pakaian, apalagi menyentuh. Tapi kali ini Alia “menghidangkan” seluruhnya!
“Alia!” seruku sebelum akhirnya tersadar dari bengong, membuang handuk dan mendekatinya. Aku tak langsung menubruknya. Masih menatapi tubuhnya bahkan sempat berpikir, mulai dari mana?
Akhirnya, masih berlutut di lantai, jari telunjukku (hanya satu jari) merabai bukit dadanya. Berputar di kaki dan lereng bukit dan berakhir dengan menyentuh ujung jariku di putingnya. Sudah mengeras. Alia melenguh pelan. Dengan gemas kedua telapak tanganku meremasi kedua bukit itu.
“Aah… sakit. Pelan-pelan dong.”
“Oh, sorry Yang.”
Kukecup keningnya semesra mungkin, penuh perasaan. Lalu matanya, hidungnya, dan bibirnya. Disini aku lama mengeksplorasi bibir dan lidahnya. Aku akan melaksanakan niatku sekarang, menciumi seluruh tubuh kekasih gelapku ini. Dagunya kugigit pelan, Alia melenguh Lehernya kutelusuri dengan bibirku, Alia mengkikik.
Tiada semilipun bagian payudaranya yang terlewat oleh bibir dan lidahku, Alia merintih. Waktu putingnya kuhisap-hisap, Alia mendesis. Waktu lidahku menyapu-nyapu pusarnya, Alia kegelian Ketika bibirku “mencabuti” bulu-bulu di bawah perutnya, Alia terkaget. Dan… tubuhnya menggigil gemetaran waktu Aku menjilati clit-nya.
Benar-benar malam yang menikmatkan dan melelahkan. Entah berapa kali tubuh Alia mengejang dalam dekapan tubuhku. Malam itu kami “menghabiskan” semuanya seolah-olah kami tak akan bertemu lagi. Dari jam 4 sore tadi kami tak ke luar kamar. Makan malampun tinggal telepon room service (dan Alia dengan telanjang bulat lari ke kamar mandi, ngumpet, sewaktu room boy mengantar makanan). Sampai kami lunglai dan tanpa sadar ketiduran.
Suara pintu setengah dibanting membangunkanku. Oh… di mana Aku? Masih mengantuk berat kulihat sekeliling. Di kamar hotel. Pintu kamar masih tertutup, rupanya tadi suara dari kamar sebelah. Kesadaranku berangsur pulih. Aku menengok ke samping.
Oh! Tubuh langsat itu masih terlentang dengan kaki masih membuka. Tak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Sepasang buah kembar itu kembang-kempis sesuai irama dengkuran halusnya. Bulu-bulu di tengah paha yang membuka itu begitu kontras dibanding sekelilingnya. Betapa indahnya Alia! Rupanya, begitu aku “turun” dari tubuhnya setelah persetubuhan kami terakhir lewat tengah malam tadi Alia langsung tertidur. Badannya masih dalam posisi bersetubuh gaya missionarist, terlentang dengan kaki membuka. Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Bangun pagi dengan kekasih telanjang bulat tertidur di sampingku.
Dengan amat perlahan Aku bangkit menuju ke kamar mandi, pipis. Aku masih menikmati pemandangan indah ini. Tidurnya begitu ‘damai’, aku punya kesempatan mengamatinya. Inilah wanita yang beberapa bulan terakhir ini memenuhi benakku dan mengisi hatiku. Inilah tubuh yang beberapa hari terakhir ini terus tertutup walaupun banyak kali aku ‘menyuntik’ maniku. Inilah bukit kembar yang seminggu terakhir ini Aku ciumi beralaskan bra dan baju. Inilah kewanitaan yang beberapa kali sempat kumasuki tanpa melihatnya. Dan, inilah clit yang…
Aku menunduk mendekati selangkangannya. Kuusap, amat pelan, clit-nya dengan telunjukku. Dengkurannya berhenti, Alia menggeliat dan membuka mata.
“Maass… Ih,” dengan refleks kaki Alia menutup.
“Sebentar Yang,” kataku sambil membuka pahanya kembali. Alia menahan.
“Malu ah Mas. Sini aja deh,” kedua tangannya terjulur. Kusambut tangannya. Aku menindih tubuhnya. Kami berpelukan erat. Inilah juga yang Aku dambakan, seks di pagi hari dengan wanita selain isteri.
Pada detik-detik terakhir kebersamaan kami, Aku masih penasaran tentang seminggu terakhir Alia “menutup” diri. Ketika hal ini kutanyakan, lama Alia berdiam diri, lalu…
“Sebenarnya, gue kurang pede, Mas.”
“Gue nggak melihat begitu, kenapa sih?” tanyaku.
Kami masih bertindihan, penisku masih di dalam tubuhnya. Baru saja kami mengalami orgasme pagi yang nikmat.
“Dada gue Mas,” Dengan refleks Aku bangkit sehingga penisku terlepas. Memeriksa dadanya. Bulatan kembar itu memang tak besar, tapi juga tak kecil. Mulus kulit “pembungkus”nya. Tak ada yang salah dengan dada itu.
“Hmmm… bagus begini,” ungkapku jujur.
“Tapi…” Alia bangkit duduk.
“Agak turun, Mas… gue malu,”katanya lagi. Aku amati dadanya dari samping, rasanya wajar-wajar saja.
“Nggak kok Yang, bener!”
“Menghibur ya?”
“Tidak, Alia. Lagian kalaupun turun, tak ada masalah bagi Mas.”
Dia diam lagi.
“Di paha ada ini…” katanya kemudian.
“Apa lagi, Yang?” Memang ada sedikit “warna lain” di paha kirinya bagian dalam. Tapi Aku tak melihatnya kalau tak ditunjukkan Alia.
“Ah… begitu aja kok engga pede.”
Oh wanita! hal-hal yang sepele begini kok bisa jadi mengurangi rasa percaya diri. Wanita memang sensitif mengenai keadaan tubuhnya.
Lalu, inilah saat yang kubenci, perpisahan.
Walaupun kami saling berjanji untuk berusaha bertemu lagi, tak urung membuatku sedih. Alia sempat meneteskan air mata. Perpisahan memang harus terjadi, setelah kemesraan kami nikmati. Toh hanya perpisahan sementara. Sementara? Nampaknya tidak.
Beberapa hari setelah Alia tiba kembali di Makassar, kami memang masih berkiriman mail, tapi Aku bisa merasakan ada perubahan dalam gayanya menulis. Tak semesra dulu lagi. Terakhir, Aku mendapatkan mailnya dengan bahasa yang “resmi” yang berisi ucapan terima kasih, bahagia selama bersama Aku di Jakarta, dan, ini yang bikin Aku “pingsan”: kita tak bisa meneruskan hubungan ini, tanpa menyebutkan mengapa harus begitu.
Beberapa kali Aku kirim mail untuk minta penjelasan tentang hal ini, tak dibalasnya. Aku coba kontak melalui chat, dia tak pernah on-line. Aku sempat ‘limbung’. Gairah kerja menurun, marah-marah tanpa sebab. Alia begitu saja meninggalkanku tanpa penjelasan kenapa. Sampai aku menulis cerita inpun Aku tetap tak tahu!

HOME